Ketegangan geopolitik yang terus berlangsung di Timur Tengah melibatkan banyak tokoh berpengaruh dunia, termasuk mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Ketiganya memainkan peran strategis dengan kepentingan masing-masing yang kerap saling bertabrakan namun juga saling menguntungkan dalam kerangka tertentu. Lantas, apa yang sebenarnya diperoleh masing-masing tokoh dari ketegangan yang terjadi?
Donald Trump: Warisan Politik dan Dukungan Domestik
Meski sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden, Donald Trump terus menggunakan isu Timur Tengah, khususnya dukungannya terhadap Israel dan kebijakan keras terhadap Iran, sebagai bagian dari narasi politiknya. Selama masa jabatannya, Trump dikenal melalui kebijakan “maximum pressure” terhadap Teheran dan pemindahan Kedutaan AS ke Yerusalem — langkah yang memperkuat citranya di mata basis konservatif dan kelompok evangelis AS.
Kini, menjelang pemilu AS berikutnya, Trump memanfaatkan ketegangan yang terus berlangsung untuk memperkuat narasi bahwa kebijakannya dulu membawa stabilitas relatif di kawasan. Ia mencoba menegaskan bahwa pendekatannya lebih “tegas” dibanding kebijakan pemerintahan saat ini, dan itu bisa menjadi modal politik yang kuat.
Benjamin Netanyahu: Konsolidasi Kekuasaan di Tengah Krisis
Bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, konflik berkepanjangan dengan Iran dan kelompok-kelompok proksi seperti Hamas dan Hizbullah menjadi alat penting untuk mempertahankan dukungan politik domestik. Dalam banyak kesempatan, Netanyahu menekankan ancaman eksistensial dari Iran demi membenarkan kebijakan keamanan nasional yang agresif.
Kondisi ini memberinya ruang untuk meredam kritik dalam negeri, termasuk soal reformasi yudisial dan konflik internal di Israel sendiri. Serangan ke Gaza atau retorika keras terhadap Iran kerap digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dan membangun solidaritas nasional di masa-masa sulit.
Ayatollah Ali Khamenei: Penguatan Narasi Perlawanan dan Legitimasi Rezim
Sementara itu, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, memanfaatkan konflik dengan Israel dan Amerika Serikat sebagai alat untuk memperkuat legitimasi politik dan ideologis di dalam negeri. Iran mengklaim dirinya sebagai garda terdepan dalam “poros perlawanan” terhadap imperialisme dan zionisme, dan narasi ini terus diperkuat di tengah sanksi ekonomi dan tekanan politik dari Barat.
Dengan mendukung kelompok proksi di wilayah seperti Lebanon, Suriah, dan Palestina, Khamenei menunjukkan kekuatan pengaruh regional Iran. Respons keras terhadap serangan Israel atau kebijakan AS membantu menggalang dukungan internal dan eksternal, terutama di kalangan simpatisan anti-Barat.
Kesimpulan: Kepentingan Bertemu di Tengah Konflik
Meski berada di posisi yang berseberangan, Trump, Netanyahu, dan Khamenei sama-sama mendapatkan keuntungan politik dari konflik yang tak kunjung usai ini. Bagi mereka, ketegangan bukan sekadar ancaman, melainkan juga peluang—untuk menguatkan posisi, mempertahankan kekuasaan, dan meneguhkan ideologi di hadapan publik masing-masing.
Namun, di balik kalkulasi politik para elite, penderitaan rakyat sipil di kawasan Timur Tengah terus berlanjut. Ketika konflik dijadikan alat kepentingan politik, maka perdamaian akan semakin menjauh dari kenyataan.